Jakarta
Trienews.(SMSI-Prov) – Dewan Pers menerima pengaduan masyarakat tentang pemberitaan sejumlah media siber (online) terkait putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) bernomor
230/G/TF/2019/PTUN-JKT tertanggal 3 Juni 2020.
Sebagaimana telah diketahui bersama,
PTUN memutuskan tindakan Presiden dan Menkominfo memperlambat atau memutus akses
internet di Papua ketika terjadi kerusuhan di provinsi tersebut tahun 2019 adalah melanggar
hukum. Presiden dan Menkominfo diputuskan harus membayar biaya perkara Rp 475.000.
Putusan PTUN tidak memerintahkan Presiden dan menkominfo untuk meminta maaf kepada
masyarakat. Namun, berbagai media memberitakan bahwa PTUN memerintahkan Presiden
dan Menkominfo untuk meminta maaf kepada masyarakat.
Pada tanggal 10 dan 11 Juni 2020, Dewan Pers mengundang 33 media massa siber
untuk memberikan klarifikasi atas pemberitaan tersebut. Dalam Forum Klarifikasi ini, masing-
masing media menjelaskan upaya mereka untuk melakukan verifikasi.
“Misalnya dengan
mengakses dokumen petitum penggugat di website PTUN tanpa menyadari bahwa petitum
tersebut telah diperbaharui oleh penggugat serta berbeda dengan amar putusan PTUN. Secara
umum, masing-masing media mengakui kesalahan yang terjadi dalam proses pemberitaan
tersebut, yakni penggunaan informasi yang tidak akurat, tanpa proses konfirmasi yang
memadai terhadap sumber kunci sehingga melahirkan pemberitaan yang cenderung
menghakimi.
Masing-masing media menyesali kesalahan ini. Beberapa media bahkan telah
meminta maaf atas kesalahan tersebut dalam koreksi berita yang dipublikasikan tidak lama
setelah kesalahan pemberitaan terjadi.
Dewan Pers mengapresiasi langkah koreksi dan permintaan maaf yang dilakukan
beberapa media.
Namun Dewan Pers mengingatkan ketentuan dalam Pasal 4 b Peraturan
Dewan Pers No 2/PERATURAN-DP/IIII/2019 Tentang Pedoman Pemberitaan Media Siber
yang menyatakan bahwa “Ralat, koreksi dan atau hak jawab wajib ditautkan pada berita yang
diralat, dikoreksi atau yang diberi hak jawab”. Maksud dari pasal ini adalah bahwa berita yang
dikoreksi, diralat atau diberi hak jawab semestinya tidak dihapuskan. Dengan pengecualian
untuk pemberitaan yang terkait dengan pertimbangan masalah SARA, kesusilaan, masa depan
anak, pengalaman traumatis korban atau berdasarkan pertimbangan khusus yang ditetapkan
Dewan Pers.
Kasus kesalahan dalam pemberitaan Putusan PTUN ini merupakan pelajaran berharga
bagi segenap insan pers Indonesia. Bahwa akurasi data, konfirmasi sumber kunci dan uji
kebenaran informasi adalah prinsip fundamental yang harus senantiasa mendasari kerja-kerja
jurnalistik, khususnya terkait dengan kepentingan publik dan nama baik orang per orang.
Dewan Pers menghimbau agar dalam berbagai situasi, kerja-kerja jurnalistik harus senantiasa
bertumpu pada upaya verifikasi yang memadai dan dapat dipertanggungjawabkan. Untuk
menjaga nama-baik pers profesional dan untuk menghindarkan media dari tuduhan terlibat
dalam skenario politik tertentu, perlu kiranya segera dikoreksi kecenderungan menyajikan
berita dengan judul dan isi yang kurang-lebih seragam pada media-media yang berbeda.
Dewan Pers memahami media massa, khususnya media siber bekerja berdasarkan
pertimbangan kecepatan penyampaian informasi. Meskipun demikian, ketaatan terhadap Kode
Etik Jurnalistik tidak boleh diabaikan, terutama sekali untuk menjaga akurasi berita dan
menghindari kemungkinan adanya pihak-pihak yang ingin memanfaatkan pemberitaan media
untuk tujuan partikular.
Dewan Pers menilai kesalahan dalam pemberitaan Putusan PTUN murni masalah
lemahnya profesionalisme media. Dewan Pers tidak menemukan unsur-unsur politis di
dalamnya. Sejauh media yang melakukan kesalahan pemberitaan tersebut telah melakukan
koreksi sesuai dengan peraturan yang ada dan telah meminta maaf atas kesalahan tersebut,
Dewan Pers menganggap masalahnya telah selesai.
Jakarta, 12 Juni 2020
Dewan Pers