BANDARLAMPUNG, (TN) – Sidang lanjutan perkara No: 39/Pdt.G/2021/PTUN. BL, kembali digelar PTUN Bandarlampung, Senin (29/11). Agenda sidang mendengar keterangan saksi ahli penggugat (5 Keturunan Bandardewa) dan tergugat II intervensi (PT HIM), masing-masing satu orang.
Penggugat menghadirkan Saksi ahli dari Universitas Lampung, yakni Dosen Fakultas Hukum dengan keahlian Tata Negara sekaligus satu-satunya akademisi yang sukses meneliti serta memecahkan persoalan menahun yang menerpa tanah adat Mesuji pada 2010 hingga 2018, DR. Candra Perbawati, SH MH. Permasalahan tanah yang dihadapi oleh masyarakat 5 keturunan Bandardewa mirip dengan tempat penelitiannya di Mesuji.
“Hasil penelitian saya tentang hak ulayat Masyarakat Hukum Adat (MHA) Mesuji dari tahun 2010 sampai 2018 menemukan bahwa hak atas tanah ulayat MHA Mesuji selama ini terabaikan. Hal ini dikarenakan adanya HGU yang diterbitkan dari pemerintah tanpa melibatkan MHA Mesuji. Terabaikannya hak atas tanah adat atau hak ulayat masyarakat hukum adat Mesuji juga disebabkan hukum yang mengatur tentang kehutanan UU No 5 tahun 1967 pada saat itu yang menjadi dasar adanya pemberian HGU oleh pemerintah bersifat refresif.
Dengan adanya putusan MK No.35/PUU-X/2012, yaitu pengujian atas UU no 41 tentang kehutanan maka MK memutuskan bahwa Tanah negara berbeda dengan tanah adat. Tanah adat adalah milik masyarakat hukum adat dengan adanya putusan MK tersebut, pemerintah seharus memberikan perlindungan terhadap tanah adat atau tanah ulayat MHA. Dalam hal ini termasuk Tanah ulayat MHA Mesuji.
Menurut dia, penerbitan HGU di atas tanah adat/Ulayat harus berdasarkan perundang-undangan yang berlaku dengan melibatkan masyarakat hk adat, sebab tanah Ulayat bukan tanah negara.
Jika ditemukan fakta adanya bukti-bukti yang mendukung keberadaan tanah adat/Ulayat, maka negara perlu memberikan perlindungan.pengakuan dan penghormatan hak ulayat MHA sebagai bukti adanya tanggungjawab negara.
“Apabila sudah ada bukti-bukti terkait tanah adat/Ulayat, negara perlu memberikan perlindungan, penghormatan dan pengakuan eksistensi MHA beserta hak atas tanah ulayatnya,” tutur Candra.
Dilain pihak, Saksi ahli yang dihadirkan oleh tergugat II Intervensi, FX Sumarja SH MH juga Dosen Universitas Lampung dengan konsen hukum agraria. Mengatakan bahwa tanah marga di Lampung sudah dihapuskan sejak dikeluarkannya Keppres tahun 1952 serta diperkuat dengan peraturan daerah setempat.
“Tanah marga di Lampung sudah dihapuskan sejak di keluarkan Keppres pada tahun 1952 diperkuat oleh Pergub Tahun 1974 dan Tahun 1977,” kata Sumarja.
Namun ketika dikejar oleh penggugat melalui pertanyaan yang mengilustrasikan bantuan hibah rutin hingga sekarang dari pemerintah mengucur kepada masyarakat adat untuk pembangunan gapura contohnya, maupun sarana pemeliharaan tanah adat lainnya, apakah hal tersebut sebagai bentuk pengakuan terhadap eksistensi tanah marga/Ulayat?. Sumarja menjawab, “tidak tahu”.
Begitu pula saat dirinya mengaku sebagai penggagas atas lahirnya Perda pada tahun 2013 yang mengatur tentang tanah adat di Provinsi Lampung yang intinya peniadaan atas tanah adat dimaksud, agar tidak lagi dimiliki oleh masyarakat adat di Lampung. Seketika jawaban tersebut dicecar oleh majelis hakim dengan pertanyaan, sudah berjalan efektif kah Perda dimaksud?.
Sumarja menjawab, tidak efektif lantaran Perda godokannya itu ditentang oleh masyarakat adat se- Provinsi Lampung, salah satunya dari kerajaan Skala Brak.
“Tidak efektif yang mulia karena ditentang oleh pihak kerajaan Skala Brak,” jawab pria kelahiran Klaten, Jawa Tengah, 22 Juni 1965 ini singkat.
Seperti diketahui, karena ada dua tim pemeriksa yang akan mutasi, maka sidang akan dipercepat. Sidang akan dilanjutkan pada tanggal 2 Desember mendatang dengan agenda mendengarkan kesimpulan para pihak.
Terpisah, Kuasa ahli waris 5 keturunan Bandardewa Ir Achmad Sobrie MSi memberikan keterangan persnya melalui pesan WhatsApp menanggapi perkembangan terakhir persidangan perkara No: 39/Pdt.G/2021/PTUN. BL, hari ini.
Berdasarkan historis, tulis Sobrie, pada tahun 1967-1969 tanah-tanah Marga di Kecamatan Tulangbawang Tengah yang diserahkan ke Pemerintah untuk dijadikan UPT Transmigrasi Way Abung seluas 33.000 Hektar yang sekarang sudah menjadi Kabupaten Tulangbawang Barat.
“Satu-satunya tanah Ulayat yang tidak diserahkan oleh Penyimbang-Penyimbang Adat adalah tanah seluas 1.470 Ha di KM 133-139 karena letaknya menyatu dengan Kampung Bandar Dewa, dikelola sebagai tempat usaha tani Masyarakat Bandardewa.
Dengan Keputusan Gubernur Lampung G/075/B.II/ HK/ 81 tanggal 27 April 1981 tentang Pencadangan Tanah kepada PT HIM di Tulang Bawang Tengah dan Menggala Lampung Utara termasuk tanah 5 Keturunan Bandardewa yang pembebasan lahannya dilakukan secara sewenang-wenang tanpa melalui proses ganti rugi kepada Ahli Waris 5 Keturunan Bandardewa,” paparnya.
Sobrie melanjutkan, Dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004 terakhir dengan UU No. 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah dikaitkan dengan Permen Agraria/ Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 kewenangan mengatur tanah dan hak Ulayat itu pada Pemerintah Kabupaten/Kota, Komnas HAM secara resmi melalui surat tanggal 7 Agustus 2012 No. 048/ R/ Mediasi/ VIII/ 2012 kepada Bupati Tulangbawang Barat Untuk menindaklanjuti hasil rapat tanggal 16 Juli 2012 di Komnas HAM Jakarta sebagai berikut :
Pertama, Pemkab untuk membentuk Tim beranggotakan Instansi terkait, LSM, Pakar dan Akademisi untuk mengkaji status lahan sengketa yang dikuasai PT HIM.
Kedua, Pemkab Tulang Bawang Barat untuk menyiapkan Perda tentang Tanah Ulayat. Meskipun telah diarahkan oleh Komnas HAM dan disimpulkan bersama dalam rapat, Perda tersebut tidak juga disiapkan, justeru malah Bupati merekomendasikan perpanjangan Hak Guna Usaha PT HIM yang masa berlakunya baru akan habis tahun 2019.
Ketiga, Padahal sebetulnya bukti-bukti dokumen dan fakta-fakta fisik di lapangan untuk mengakui/melegitimasi lahan sengketa tersebut merupakan tanah Ulayat semuanya ada dan tersedia antara lain :
1. Soerat Hak Kekoeasaan Tanah Hoekoem Adat Kampoeng Bandardewa No. 79/ Kampoeng/1922 terdaftar di Pesirah Marga Tegamoan tanggal 27 April 1936 (surat otentik/ asli ada pada kami),
2. Stempel Surat Kepala Kampoeng Bandardewa.
3. Soerat Aanslaag, Bukti Pembajaran Padjak, tahun 1930.
4. Batas fisik tanah di lapangan dari KM 133 sampai 139 menyatu dengan kampung Bandardewa seluas 1.470 Hektar.
5. Tanah tersebut dikelola secara terus-menerus untuk peladangan, kebun, perikanan, pengembalaan kerbau dan pemanfaatan hasil hutan oleh Masyarakat 5 Keturunan.
Terakhir, Pada hakekatnya tujuan otonomi daerah dan adanya Pemekaran Daerah untuk melindungi hak-hak Masyarakat, mengakomodir kearifan lokal untuk mensejahterakan rakyatnya.
“Tetapi faktanya, adanya dibentuk pemerintah Kabupaten Tulangbawang Barat justeru menimbulkan masalah baru yang sangat berpotensi memicu konflik pertanahan antara Masyarakat dengan pihak Perusahaan (PT HIM),” tutup Achmad Sobrie, mantan tenaga ahli Pemkab Lampung Tengah. (fn1)